Senin, 16 Januari 2012

Kemampuan Berpikir Analitis dan Kritis

I.  Pendahuluan
Matematika adalah ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur ; Matematika adalah sarana berpikir dan metode berpikir logis ; Matematika ( Johnson dan Rising,1972) pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian logik ; Matematika (James,1976) adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi kedalam bidang yaitu aljabar, analisis dan geometri.
Dari beberapa definisi yang telah diterangkan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa matematika ilmu yang melatih kemampuan berpikir analitik, kritis, memecahkan masalah. Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstrak).
Kebanyakan penulis berpendapat bahwa berpikir kritis berkaitan dengan aktivitas “tingkat tinggi” seperti kemampuan dalam memecahakan masalah, menetapkan keputusan, berpikir reflektif, berpikir kreatif, dan mengambil kesimpulan secara logis (Nickerson, 1998). Menurut Shukor (2001) ada dua macam keterampilan berpikir, yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif. Sedangkan Cotton (2003) mengusulkan istilah lain untuk kemampuan berpikir kritis, yaitu higher order thinking skills (keterampilan berpikir tingkat tinggi).

A.    Kemampuan Berfikir Analitis
Berpikir secara analitis (analytical thinking) diperlukan terutama dalam memecahkan suatu masalah. Namun, diperlukan teknik dan kerangka kerja yang sistematis (systematic framework) untuk mempercepat penemuan solusi terhadap masalah tersebut. 
Analysis Adalah proses yang dilakukan secara hati-hati dengan membagi-bagi masalah dengan melalui aplikasi teknis analisis dan penerapan pengetahuan yang tepat. Sebagai contoh, analisa fakta membutuhkan pembuktian hipotesa. 

B.     Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Menurut Ennis (1985) serta Fogarty dan McTighe (1993) berpikir kritis merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar untuk menentukan apa yang akan dikerjakan dan diyakini. Berpikir menggunakan proses secara simbolik yang menyatakan objek-objek nyata, kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik untuk menemukan prinsip-prinsip mendasar suatu objek dan kejadian (Arends, 2000). Di dalam proses berpikir berlangsung kejadian menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama (Ibrahim dan Nur, 2000). Disampaikan oleh Diestler (1994) bahwa dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi berdasarkan perbedaan nilai, memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu mengenali kesalahan, mampu menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda.
Kemampuan berpikir kritis merupakan proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Liliasari (2000) dan Krulik dan Rudnick (1999) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini mengaktifkan kemampuan melakukan analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan, kesimpulan logis, memahami implikasi argumen (Friedrichsen, 2001). Lebih lanjut McMurarry et al (1991) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa. Hal ini didukung oleh penyataan Friedrichsen (2001) dan King (1994) bahwa kemampuan berpikir kritis seyogyanya dikembangkan sejak usia dini. Dinyatakan oleh Presseisen (1985) bahwa agar siswa memiliki keterampilan intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan membuat keputusan. Selanjutnya, disampaikan oleh Ennis (1993) bahwa evaluasi terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi motivasi agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.
Arends (2004), Ibrahim dan Nur (2000) menjelaskan mengenai berpikir tinggi sebagai berikut: 1) Tidak algoritmik, alur tindakan tidak dapat ditetapkan sebelumnya, 2) cenderung ke arah yang kompleks, sehingga keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang, 3) seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian dibandingkan hanya dengan solusi tunggal, 4) melibatkan pertimbangan dan interpretasi, 5) melibatkan pengaturan diri tentang proses berpikir, 6) merupakan sebuah kerja keras, ada pergerakan mental yang besar saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.
Sudut pandang berpikir kritis disampaikan oleh Eggen dan Kauchak (1996) bahwa berpikir kritis adalah: 1) sebuah keinginan untuk mendapatkan informasi, 2) sebuah kecenderungan untuk mencari bukti, 3) keinginan untuk mengetahui kedua sisi dari seluruh permasalahan, 4) sikap dari keterbukaan pikiran, 5) kecenderungan untuk tidak mengeluarkan pendapat (menyatakan penilaian), 7) menghargai pendapat orang lain, 8) toleran terhadap keambiguan.
Disampaikan oleh Lewis dan Smith (1993) bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikit tingkat tinggi, setidaknya ada tiga makna berpikir kritis, yaitu: 1) berpikir kritis sebagai suatu pemecahan masalah, 2) berpikir sebagai evaluasi dan pertimbangan, dan 3) berpikir kritis sebagai kombinasi pemecahan masalah, evaluasi dan pertimbangan.

1.      Perlunya Budaya Berpikir Kritis
Ada beberapa alasan perlunya membentuk budaya berpikir kritis di masyarakat. Salah satunya adalah untuk menghadapi perubahan dunia yang begitu pesat yang selalu muncul pengetahuan baru tiap harinya, sementara pengetahuan yang lama ditata dan dijelaskan ulang. Di zaman perubahan yang pesat ini, prioritas utama dari sebuah sistem pendidikan adalah mendidik anak-anak tentang bagaimana cara belajar dan berpikir kritis.
Wilson (2000) mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya keterampilan berpikir kritis, yaitu:
a.       Pengetahuan yang didasarkan pada hafalan telah didiskreditkan; individu tidak akan dapat menyimpan ilmu pengetahuan dalam ingatan mereka untuk penggunaan yang akan datang.
b.      Informasi menyebar luas begitu pesat sehingga tiap individu membutuhkan kemampuan yang dapat disalurkan agar mereka dapat mengenali macam-macam permasalahan dalam konteks yang berbeda pada waktu yang berbeda pula selama hidup mereka.
c.       Kompleksitas pekerjaan modern menuntut adanya staf pemikir yang mampu menunjukkan pemahaman dan membuat keputusan dalam dunia kerja.
d.      Masyarakat modern membutuhkan individu-individu untuk menggabungkan informasi yang berasal dari berbagai sumber dan membuat keputusan.
Dengan kata lain, pekerja yang memasuki tempat kerja di masa mendatang harus benar-benar memiliki berbagai kemampuan yang akan menjadikan mereka pemikir sistem dan orang yang tak pernah henti belajar sepanjang hidup mereka (Shukor, 2001). Alasan lain perlunya budaya berpikir adalah bahwa dunia yang mengekspresikan ketertarikan dan kepedulian mereka pada kemampuan pembelajaran berpikir karena mereka mendapati ketidakmampuan lulusan universitas dalam membuat keputusan sendiri dengan mandiri (Phillips, 2001). Karena kesejahteraan suatu negara bergantung pada masyaratnya, maka dipandang perlu dan masuk akal jika akal pikiran menjadi fokus dari perkembangan pendidikan (Shukor, 2001).
Menurut Tishman et al (1995), budaya berpikir adalah transformasi budaya dari suatu kelas menjadi budaya berpikir. Pembelajaran berpikir tersebut bertujuan untuk mempersiapkan masa depan diri siswa dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan yang dipikirkan secara matang, dan pembelajaran tanpa henti sepanjang hayat (life long education). Kelas berpikir ditujukan untuk belajar dan mengajar di lingkungan dengan budaya berpikir. Di lingkungan kelas, ada beberapa hal yang berkolaborasi, seperti bahasa, nilai-nilai, harapan, dan kebiasaan, untuk mengekspresikan dan memperkuat pemikiran yang kuat (Tishman et al, 1995).
Budaya berpikir meliputi bahasa berpikir, watak berpikir, manajemen mental, semangat berstrategi, tingkat pengetahuan yang tinggi, dan pembelajaran untuk menyalurkan ilmu. Satu dekade terakhir, banyak negara Asia Tenggara yang berusaha merancang ulang sistem pendidikan mereka dalam rangka menghasilkan siswa-siswa pemikir untuk masa depan meraka. Misalnya, di tahun 1990, Singapura memulai “Thinking School, Learning Nation”, Malaysia dengan “Smart Schools”, dan Brunei Darussalam “Thoughtful Schools” (Sim, 2001; Chang, 2001; dan Shukor, 2001).

2.      Pentingnya Berpikir Kritis dalam Pembelajaran
Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran adalah perlunya mempersiapkan siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan yang matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar. Penting bagi siswa untuk menjadi seorang pemikir mandiri sejalan dengan meningkatnya jenis pekerjaan di masa yang akan datang yang membutuhkan para pekerja handal yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Selama ini, kemampuan berpikir masih belum merasuk ke jiwa siswa sehingga belum dapat berfungsi maksimal di masyarakat yang serba praktis saat ini. Sebuah laporan di Malaysia menyebutkan bahwa pembelajaran kognisi tingkat tinggi membantu siswa untuk menjadi pembelajar mandiri, mengembangkan keterampilan berpikir siswa lebih umum dinyatakan sebagai tujuan pendidikan saja. Rajendran (2002) menemukan kurangnya kemampuan siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah dan kelas ke permasalahan yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Dia menegaskan bahwa banyak siswa tidak mampu memberikan bukti tak lebih dari pemahaman yang dangkal tentang konsep dan hubungan yang mendasar bagi mata pelajaran yang telah mereka pelajari, atau ketidakmampuan untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh ke dalam permasalahan dunia nyata (Rajendran, 2002).
Menurut kajian ini kebutuhan untuk mengajarkan kemampuan berpikir sebagai bagian yang menyatu dengan kurikulum sekolah merupakan hal yang sangat penting. Sebagian besar negara mempedulikan kenaikan standar pendidikan melalui wajib belajar pada pendidikan formal. Menurut Cotton (2003), pada tatanan masyarakat yang serba praktis ini, pendidikan anak-anak menjadi tujuan utama pendidikan. Hal ini akan membekali anak-anak dengan pembelajaran sepanjang hayat dan kemampuan berpikir kritis yang dibutuhkan untuk menangkap fakta dan memproses informasi di era dunia yang makin berkembang ini. Salah satu dari fungsi sekolah adalah menyediakan tenaga kerja yang mumpuni dan siap dengan berbagai masalah yang ada di masyarakat, maka penting pembelajaran berpikir dimasukkan ke dalam proses pembelajaran. Selain perhatian terhadap penguasaan hal-hal dasar seperti membaca, menulis, sains dan matematika, perhatian yang sama juga terletak pada kemampuan berpikir kritis. Pengetahuan dasar atau penguasaannya saja tidak cukup untuk memenuhi tuntutan perkembangan dunia masa yang akan datang. Beberapa kajian pedagogi yang memiliki kontribusi terhadap antara lain Bourke (2004), See (1998), See dan Lim (2003), Dhinsa dan Shanmuganathan (2002).
Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwhol (2001) sangat berguna dalam meningkatkan level berpikir kritis siswa dalam pembelajaran.
Peneliti Chai dan Tan (2003) mengusulkan sebuah pendekatan yang disebut dengan knowledge building community untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Mereka menyatakan bahwa pendekatan ini mampu mengubah struktur wacana tradisional penyampaian ilmu pengetahuan di kelas untuk mengembangkan ide-ide dan keterampilan berpikir kritis. Rangkaian guru mengajukan pertanyaan, siswa menjawab dan kemudian guru mengevaluasi dan menjelaskan kembali secara rinci jawaban dari siswa, adalah tipikal kelas tradisional (Chai dan Tan 2003).
Apa yang dibutuhkan sekarang adalah suatu konteks ramah sosial bagi peserta didik untuk membawa ide mereka ke dalam kelas. Lee (1999) mengatakan bahwa memberikan materi yang tepat, arahan yang benar dan suasana pembelajaran yang kondusif, anak-anak dari usia berapapun akan mampu berkembang kemampuan berpikir kritisnya.
Kunci berpikir kritis adalah mengembangkan pendekatan impersonal yang memperhatikan argumentasi dan fakta sejalan dengan pandangan, pendapat dan perasaan personal. Wacana akademik didasarkan pada prinsip-prinsip berpikir kritis yang dijelaskan oleh Northedge (2005) sebagai berikut: Debat: membantah poin-poin yang memiliki pandangan berbeda. Keilmuan: kesadaran akan hal lain apa yang telah ditulis, dan mengutipnya dengan tepat. Argumen: mengembangkan poin-poin dalam urutan logis yang akan mengarah pada kesimpulan. Kritis: mengetahui/ memperhatikan kekuatan dan kelemahan. Analisis: menguraikan argumen yang dikemukakan. Bukti: meyakinkan orang bahwa argumen yang dibawa didukung oleh bukti yang valid. Objektif: tidak memihak dan emosional serta tanpa menimbulkan daya tarik langsung pada orang lain. Presisi: menuju ketepatan, hal-hal apapun yang tidak terkait dengan argumen harus dihilangkan. Pemikiran kritis dan analitis harus diaplikasikan pada semua aspek kegiatan akademik, misalnya aktivitas memilih informasi, membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Belajar membaca dan mengevaluasi informasi secara kritis merupakan keahlian yang paling penting, apabila telah dikuasai dapat diaplikasikan di bidang-bidang lainnya.

3.      Perolehan Informasi secara Kritis
a.       Membaca Kritis
Tahap awal dalam proses membaca kritis adalah untuk mengasah kepekaan terhadap informasi yang anda gunakan,seberapa dapat dipercayakah informasi itu? Untuk materi tertulis, pertimbangkan hal-hal berikut:
(a)    Untuk buku, siapa penerbitnya? Apakah penerbit akademik ternama? Apakah buku itu berseri (yang berarti bahwa buku itu akan memiliki “kendali mutu”, dari beberapa editor)
(b)   Untuk artikel jurnal, apakah artikel itu diterbitkan dalam sebuah jurnal akademik? (Pengajar anda hendaknya mampu untuk memberitahu anda jurnal-jurnal utama dalam bidang anda.)
(c)    Untuk keduanya, siapa penulisnya, dan apakah dia berasal dari organisasi akademik terpercaya?
(d)   Seberapa baru tanggal terbitannya, dan apakah anda menggunakan edisi terbaru dari buku teks itu?
Perhatian khusus perlu diasah ketika menggunakan informasi dari internet. Ini akan menjadi topik dari artikel lain dalam situs ini, tapi anda perlu mempertimbangkan relevansinya, dan khususnya:
(a)    Apakah yang menjadi sumbernya? Apakah informasi itu berasal dari organisasi akademik ataukah organisasi komersial, dan jika berasal dari organisasi akademik, apakah ternama? (Misalnya, ketika kita mencari “berpikir kritis”, kita akan menemukan banyak situs komersial yang mencoba untuk menjual layanan khusus semacam software atau model konsultasi.)
(b)   Apakah tipe penulisannya akademik, disertai referensi, klaim-klaim yang kuat, dan lain-lain?
(c)    Kapan diposting/di-update?
Ketika membaca teks, anda perlu menerapkan prosedur-prosedur tertentu, yaitu:
(a)    Identifikasi argumen, apa inti dari argumentasi penulis.
(b)   Analisis dan kritisi argumen:
·         Apakah alasan yang diajukan mencukupi, dan apakah valid sebagai argumentasi, apakah argumentasi itu mendukung untuk menarik kesimpulan dari suatu kajian?
·         Apakah penulis mengembangkan argumen secara logis dan koheren, yakni premis/ poin A/ poin B/ kesimpulan, menghindari pemotongan yang bisa membingungkan jalannya logika yang telah disusun.
·         Apakah logika penulis selalu valid, atau apakah dia menarik kesimpulan dari premis yang salah, atau adakah kelemahan dalam proses penarikan kesimpulan yang mengasumsikan adanya hubungan sebab-akibat yang tak satupun dapat dibenarkan atau digeneralisasi karena contoh-contohnya tidak memadai?
·         Apakah penulis objektif, atau apakah dia menggunakan bahasa emotif, untuk menarik simpati pembaca.
(c)    Menilai dan menguji bukti
·         Jenisnya, statistik, survei, studi kasus, temuan dari eksperimen adalah contoh bentuk-bentuk bukti yang mungkin diajukan.
·         Apakah bukti valid? Validitas dapat dipengaruhi oleh kriteria eksternal seperti sumber (misalnya artikel dari jurnal akademik cenderung lebih terpercaya daripada yang diambil dari koran). Hendaknya, anda memeriksa kualitas intrinsik dari bukti-bukti, misalnya seberapa baru studi kasus itu?
b.      Menulis Kritis
  • Perencanaan adalah kunci utama: jika anda menyusun ide-ide anda dengan baik dalam perencaan anda, anda tidak akan kebingungan tentang materi yang harus anda tulis.
  • Anda perlu menerapkan penilaian dengan berpikir kritis pada tulisan anda sendiri sebagaimana yang anda lakukan terhadap orang lain, walaupun menilai karya sendiri pasti lebih sulit.
  • Periksa apakah rangkain penalaran anda cukup jelas, mulailah menyatakan hal apa yang ingin anda lakukan, aturlah informasi yang anda kemukakan secara logis, hingga sampai pada kesimpulan yang jelas dan kuat.
  • Pastikan bahwa bukti yang anda gunakan valid berdasarkan kriteria yang telah dijelaskan dalam penjelasan membaca kritis.
  • Pahami dengan teliti perbedaan tulisan deskriptif, yang memaparkan kisah, menggunakan pernyataan-pernyataan, penjelasan dan daftar-daftar, dan tulisan analisis, yang mengemukakan argumen, memberikan alasan-alasan, mempertimbangkan informasi, dan menarik kesimpulan.
c.       Menyimak dan Berbicara Kritis
Proses belajar umumnya berjalan melalui dialog dan dengan saling bertukar ide satu sama lain, tetapi anda tidak bisa berharap diri anda atau pun orang lain untuk selalu memperkuat pendapat sekuat dalam tulisan. Walaupun begitu, coba dengarkan diri anda sendiri dan orang lain, simak ketidakkonsistenan dan kontradiksi yang muncul; jika anda dalam sebuah seminar, perhatikan bagaimana ide dikembangkan sepanjang dialog, bagaimana ide-ide anda sesuai atau bertentangan dengan ide orang lain itu. Siapkan diri sebaik mungkin untuk mengajukan pertanyaan jika anda menyimak, misalnya jika seseorang mengajukan pandangan tentang penulis atau teks tertentu, jangan takut untuk menuntut mereka agar memperkuat argumen mereka. Anda juga perlu mengajukan argumen yang beralasan, yang akan membantu mengembangkan keahlian berpikir anda, karena debat lisan memang berlangsung lebih cepat daripada menulis ataupun membaca, yang hampir sepenuhnya adalah aktivitas pribadi. Perlu diingat pula, bahwa anda memiliki “data” tambahan berupa bahasa tubuh.

4.      Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Pembelajaran
Pada dasarnya berpikir kritis merupakan suatu hal yang masuk akal (reasonable), berpikir reflektif yang terfokus pada keputusan untuk mempercayai dan melakukannya (Ennis, 1986; Ennis, 1993; King, 1994). Kemampuan berpikir kritis dapat diberdayakan dengan memhami aspek-aspek yang berkaitan dengan konsepsi berpikir kritis. Berpikir dikatakan masuk akal apabila pemikir berusaha menganalisis argumen secara hati-hati, mencari bukti yang valid dan mecapai kesimpulan yang logis (Marzano et al, 1988).
Disebutkan Ennis (1985), ada 12 indikator kemampuaan berpikir kritis yang dikelompokkan menjadi 5 aspek kemampuan berpikir kritis, yaitu:
a.       memberikan penjelasan secara sederhana (meliputi: memfokuskanpertanyaan, menganalisis pertanyaan, bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan),
b.      membangun keterampilan dasar (meliputi: mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi),
c.       menyimpulkan (meliputi: mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan menentukan nilai pertimbangan),
d.      memberikan penjelasan lanjut (meliputi: mendefinisikan istilah dan pertimbangan definisi dalam tiga dimensi, mengidentifikasi asumsi),
e.       mengatur strategi dan taktik (meliputi: menentukan tindakan, berinteraksi dengan orang lain).
Indikator dan aspek kemampuan berpikir kritis yang diadaptasi dari Ennis (1985):
  1. Merumuskan masalah : Memformulasikan bentuk pertanyaan yang memberi arah untuk memperoleh jawaban
  2. Memberi argumen : Argumentasi atau alasan yang sesuai konteks, menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan argumentasi komprehensif
  3. Melakukan deduksi : Mendeduksi secara logis, kondisi logis deduktif, melakukan interpretasi terhadap pertanyaan
  4. Melakukan induksi : Melakukan investigasi/pengumpulan data, membuat generalisasi dari data, membuat tabel dan grafik, membuat kesimpulan terkait dengan hipotesis
  5. Melakukan evaluasi : Evaluasi diberikan berdasarkan fakta dan berdasar prinsip atau pedoman, memberikan alternatif penyelesaian masalah
  6. Memutuskan dan melaksanakan : Memilih kemungkinan solusi, menentukan kemungkinan tindakan yang akan dilaksanakan.
Kemampuan berpikir kritis merupakan alat yang dipergunakan dalam proses penguasaan konsep karena pengetahuan konseptual merupakan akibat dari proses konstruktif. Kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan sendirinya seiring dengan perjalanan usia seseorang. Kemampuan ini akan berkembang dengan baik apabila secara sengaja dikembangkan. Senada dengan hal ini, Penner (1995) menjelaskan bahwa berpikir kritis tidak dapat dilatihkan sekaligus dalam satu konsep saja, tetapi harus dilatihkan melalui beberapa konsep dan strategi belajar, sama halnya dengan melatihkan keterampilan motorik. Lebih lanjut disampaikan oleh Marzano (1993) bahwa membelajarkan berpikir kritis dapat dilakukan guru melalui tanya jawab, menulis, kerja sama, diskusi dan praktik.

C.    Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
              Dalam belajar matematis, pada umumnya yang diangggap masalah bukanlah soal yang biasa dijumpai siswa. Soal-soal latihan di buku teks, atau soal-soal yang sering dilatihkan oleh para guru, sebagian besar mungkin bukan masalah bagi siswa. Suatu soal tidak akan menjadi masalah bagi siswa jika soal tersebut tidak menimbulkan minat siswa untuk mengerjakannya, atau tidak menimbulkan kesulitan bagi siswa dalam mengerjakannya. Beberapa pakar menjelaskan pengertian masalah dalam matematika sebagai berikut.
            Menurut Hudoyo (1998), soal atau pertanyaan disebut sebagai masalah jika untuk menjawab soal atau pertanyaan tersebut seseorang perlu mengorganisasikan terlebih dahulu pengetahuan yang telah dimilikinya. Suherman, dkk. (2003) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuj menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang siswa dan siswa tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah bagi siswa tersebut. Hampir senada dengan Hudoyo maupun Suherman, dkk., Bell (1978), menyatakan bahwa “a situation is a problem for a person if he or she is aware of its existence, recognizes that it requires action, wants or needs to act and does so, and is not immediately able to resolve the situation”
            Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Mayer (dalam Kirlley, 2003) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu proses yang terdiri banyak langkah untuk menyelesaikan suatu masalah, dengan seseorang yang menjadi problem solvernya terlebih dahulu harus menemukan hubungan antara pengalaman (skema) masa lalunya dengan masalah yang sekarang dihadapinya dan kemudian bertindak untuk menyelesaikannya.
            Banyak ahli yang menyatakan pentingnya belajar pemecahan masalah dalam matematika. Menurut Bell (1978) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pemecahan masalah yang umumnya dipelajari dalam pelajaran matematika, dalam hal-hal tertentu, dapat ditransfer dan diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah yang lain. Penyelesaian masalah secara matematis dapat membantu para siswa meningkatkan daya analitis mereka dan menolong mereka dalam menerapkan daya mereka tersebut pada bermacam-macam situasi.
            Conney (dikutip Hudoyo, 1988) juga menyatakan bahwa mengajarkan penyelesaian masalah kepada para siswa, memungkinkan para siswa itu menjadi lebih analitis didalam mengambil keputusan didalam hidupnya. Dengan perkataan lain, bila siswa dilatih menyelesaikan masalah, maka siswa itu akan mampu mengambil keputusan, sebab siswa itu telah menjadi trampil tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
            Memperhatikan apa yang akan diperoleh para siswa dengan belajar memecahkan masalah sebagaimana tersebut diatas, maka wajarlah jika pemecahan masalah menjadi bagian yang sangat penting, bahkan paling penting dalam belajar matematika. Hal ini karena pada dasarnya salah satu tujuan belajar matematika bagi siswa adalah agar ia mempunyai kemampuan dalam memecahkan masalah atau soal-soal matematika, sebagai sarana baginya untuk mengasah penalaran yang cermat, logis, kritis, dan kreatif. Romberg (dalam Schoenfeld, 1994) menyebutkan 5 tujuan belajar matematika bagi siswa, yaitu: (1) belajar nilai tentang matematika; (2) menjadi percaya diri dengan kemampuannya sendiri; (3) menjadi pemecah masalah matematika; (4) belajar berkomunikasi secara matematis; dan (5) belajar untuk bernalar secara matematis.
            National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama untuk melakukan belajar itu. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus pembelajaran matematika di semua jenjang, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dengan mempelajari pemecahan masalah di dalam matematika, para siswa akan mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan, serta kepercayaan diri didalam situasi-situasi tidak biasa, sebagaimana situasi yang akan mereka hadapi di luar ruang kelas matematika. Di kehidupan sehari-hari dan dunia kerja, menjadi seorang pemecah masalah yang baik bisa membawa manfaat-manfaat besar.
            Karena menyelesaikan masalah bagi siswa itu dapat bermalna proses untuk menerima tantangan, sebagaimana dikatakan Hudoyo (1988), maka mengajarkan bagaimana menyelesaikan masalah merupakan kegiatan guru untuk memberikan tantangan atau motivasi kepada para siswa agar dapat mereka mampu memahami masalah tersebut, tertarik untuk memecahkannya, mampu menggunakan semua pengetahuannya untuk merumuskan strategi dalam memecahkan masalah tersebut, melaksanakan kegiatan itu, dan menilai apakah jawabannya benar. Untuk dapat memotivasi para siswa secara demikian, maka setiap guru matematika harus mengetahui dan memahami langkah-langkah dan strategi dalam menyelesaikan masalah matematis.
            Langkah yang terkenal dalam pemecahan masalah matematis dikemukakan oleh G. Polya, dalam bukunya “How to Solve It”. Empat langkah pemecahan masalah matematika menurut G. Polya tersebut adalah. “(1) Understanding the problem; (2) Devising a plan; (3) Carrying out the plan; (4) Looking Back” (Alfeld, 1996). Hall (2000) juga membuat ikhtisar dari buku G. Polya tersebut, dan merinci bahwa; (1) Memahami masalah, meliputi memberi label atau simbol dan mengidentifikasi apa yang ditanyakan, syarat-syarat, apa yang diketahui (datanya), dan menemukan tingkat kesulitan masalahnya; (2) Membuat sebuah rencana, yang berarti menggambarkan pengetahuan sebelumnya untuk kerangka teknik penyelesaian yang sesuai, dan menuliskannya kembali masalahnya jika perlu; (3)  Menyelesaikan masalah tersebut, menggunakan teknik penyelesaian yang sudah dipilih; dan (4) Mengecek kebenaran dari penyelesaiannya yang diperoleh dan memasukkan masalah dan penyelesaian tersebut kedalam memori untuk kelak digunakan dalam menyelesaikan masalah dikemudian hari.
            Hampir sama dengan G. Polya, Dominowski (2002) menyatakan ada tiga tahapan umum untuk menyelesaikan suatu masalah, yaitu: interpretasi, produksi, dan evaluasi. Interpretasi merujuk pada bagaimana seorang pemecah masalah memahami suatu masalah. Produksi menyangkut pemilihan jawaban atau langkah yang mungkin untuk membuat penyelesaian. Evaluasi adalah proses dari penilaian kecukupan dari jawaban yang mungkin, atau langkah lanjutan yang telah dilakukan selama mencoba atau berusaha menyelesaikan suatu masalah.
            Kirkley (2003) menyebutkan bahwa model pemecahan masalah yang umum pada tahun 60-an, adalah Bransford’s IDEAL model, yaitu:
(1)   Identify the problem
(2)   Define the problem through thinking about it and sorting out the relevant information.
(3)   Explore solutions through looking at alternatives, brainstorming, and checking out different points of view.
(4)   Act on the strategies, and
(5)   Look back and evaluate the effects of your activity.
            Sedangkan model pemecahan masalah yang lain, adalah model dari Gick (Kirkley, 2003). Dalam model ini urutan dasar dari tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah, termasuk memanggil kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal yang relevan dari masalah tersebut; (2) Mencari penyelesaian, termasuk memperhalus tujuan dan mengembangkan suatu rencana untuk bertindak guna mencapai tujuan; dan (3) Menerapkan penyelesaian, termasuk melaksanakan rencana dan menilai hasilnya.
            Menyangkut strategi untuk menyelesaikan masalah, Suherman, dkk (2003) menyebutkan antara lain: (1) Act it Out (menggunakan gerakan fisik atau menggerakkan benda kongkrit; (2) Membuat gambar dan diagram; (3) Menemukan pola; (4) Membuat tabel; (5) Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematis; (6) Tebak dan periksa; (7) Kerja mundur; (8) Menemukan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan; (9) Menggunakan kalimat terbuka; (10) Menyelesaikan masalah yang mirip atau yang lebih mudah; dan (11) Mengubah sudut pandang.
            Para guru dapat memberikan masalah yang beragam cara penyelesaiannya, sehingga para siswa berkesempatan untuk mencoba beberapa strategi untuk mendapatkan berbagai pengalaman belajar. Jika ditinjau dari jenis masalah yang diselesaikannya, Kirkley (2003) menyebutkan ada tiga jenis masalah, yaitu: (1) Masalah-masalah yang terstruktur dengan baik (well-structured problems); (2)  Masalah-masalah yang terstruktur secara cukup (moderately-structured problems); dan (3) Masalah-masalah yang terstrukturnya buruk (ill-structured problems). Masalah yang terstruktur dengan baik, strategi untuk menyelesaikannya biasanya dapat diduga, mempunyai satu jawaban yang benar, dan semua informasi awal biasanya bagian dari pernyataan masalahnya. Masalah yang terstruktur secara cukup, sering mempunyai lebih dari satu strategi penyelesaian yang cocok, mempunyai satu jawaban yang benar, dan masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah yang strukturnya buruk, penyelesaiannya tidak terdefinisi dengan baik dan tidak terduga, mempunyai banyak perspektif, banyak tujuan, dan banyak penyelesaian, serta masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya.
            Berbagai jenis masalah perlu diberikan kepada siswa secara bertahap. Adalah penting bagi seorang guru matematika untuk memahami bahwasanya orientasi di dalam pendidikan adalah para siswa. Menurut Hudoyo (1988) para siswa harus dibekali bagaimana belajar itu sebenarnya. Karena itu para siswa harus dilatih menyelesaikan berbagai jenis masalah.
            Demikian pentingnya aspek pemecahan masalah ini dalam belajar matematika sehingga di dalam Principles & Standars for School Mathematics  yang diterbitkan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) pada tahun 2000 disebutkan bahwa program-program pembelajaran dari pra TK hingga kelas 12 seharusnya memungkinkan semua siswa untuk mampu: (1) Membangun pengetahuan matematis yang baru melalui pemecahan masalah; (2) Memecahkan permasalahan yang muncul di dalam matematika dan di dalam konteks-konteks lain; (3) Menerapkan dan mengadaptasi beragam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan; dan (4) Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis.
            Memperhatikan pengertian masalah, pentingnya siswa belajar pemecahan masalah, langkah-langkah dan strategi pemecahan masalah, seperti tersebut di atas, maka memiliki kemampuan pemecahan masalah tidak hanya penting untuk siswa, tetapi juga penting untuk mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru matematika. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah bagi seorang calon guru matematika, seperti halnya kemampuan lain, yaitu penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, maupun representasi matematika, terbukti dari ditentukannya standar untuk kemampuan-kemampuan tersebut dalam NCTM Program Standards (2003). Bahkan, Knowledge of Mathematical Problem Solving merupakan standar pertama diantara tujuh standar proses yang ditetapkan NCTM. Menurut standar NCTM ini, seorang calon guru matematika haruslah mengetahui, memahami, dan dapat menerapkan proses dari pemecahan masalah matematika. Kebutuhan untuk mengetahui, memahami, dan dapat menerapkan proses pemecahan masalah ini sangat beralasan bagi seorang calon guru matematika, jika mengingat tugasnya kelak kalau sudah menjadi guru yang harus membimbing siswanya agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah matematis.
            Indikator yang dapat menunjukkan apakah seorang calon guru matematika telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis, menurut standar NCTM (2003) adalah dapat: (1) Menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah; (2) Menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika; (3) Membangun pengetahuan matematis yang baru lewat pemecahan masalah; dan (4) Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahana masalah matematis.
            Terkait dengan indikator pertama, yaitu mampu menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah ini sangat penting bagi seorang calon guru mengingat tugasnya nanti dalam membimbing siswa menyelesaikan masalah. Untuk itu mahasiswa calon guru matematika haruslah dapat memahami masalah matematika yang diberikan padanya, minimal dapat mengidentifikasi apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan memeriksa kecukupan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut (Hall,2000). Setelah memahami masalahnya, barulah seseorang akan dapat memilih pendekatan atau strategi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Termasuk dalam kemampuan memilih pendekatan atau strategi adalah kemampuan untuk menggunakan notasi dengan benar, menyajikan informasi dalam tabel, diagram, gambar, atau bagan yang sesuia, memilih rumus yang tepat.
            Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, penting bagi seseorang calon guru matematik agar ia mempunya cukup ketrampilan yang akan digunakananya untuk membimbing siswa belajar matematika nantinya. Mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis dari beragam konteks ini menjadi lebih penting lagi bagi seorang calon guru matematika jika dikaitkan dengan perlunya siswa belajar matematika dalam konteks beragam, sebagaimana disarankan dalam pendekatan kontekstual.
            Indikator ke-tiga, yaitu mampu membangun pengetahuan matematis yang baru lewat pemecahan masalah, terutama terkait dengan perlunya seorang calon guru matematika mampu memilih dan mengembangkan masalah dan penyelesaiannya. Kemampuan yang demikian ini dibutuhkan seorang calon guru matematika agar nanti jika ia telah menjadi guru dapat mengarahkan para siswanya belajar berbagai ketrampilan matematis, dan membangun gagasan-gagasan matematis yang penting.
            Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis, bermakna bahwa untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, seorang calon guru matematika haruslah mampu secara kritis meninjau sendiri apa strategi penyelesaian yang telah dipilihnya. Bransford (dalam NCTM, 2000) menyatakan bahwa para pemecah masalah yang baik menyadari apa yang sedang mereka lakukan dan seringkali memonitor, atau meninjau sendiri, kemajuan diri mereka sendiri, atau menyesuaikan strategi-strategi mereka saat menghadapai dan memcahkan permasalahan.
            Meskipun sudah terdapat panduan yang menyangkut langkah-langkah dan strategi-strategi umum untuk menyelesaikan suatu masalah seperti tersebut diatas, namun tidak berarti seorang tidak menemui kemdala dalam mempraktekkannya. Dominowski (2002) menyatakan beberapa kendala yang mungkin ditemui seorang dalam menyelesaikan masalah antara lain menyangkut salah interpretasi ukuran masalah, dan inovasi.
            Terkait dengan kendala salah interpretasi, besar kemungkinan hal ini disebabkan ketidakjelasan deskripsi masalahnya, kerancuan bahasa yang digunakan, atau kekurangtepatan pengguna istilah, notasi, gambar, tabel atau grafik yang digunakan untuk merepresentasikan masalah tersebut. Dengan demikian, kemampuan untuk memecahkan masalah juga terkait erat dengan kemampuan komunikasi matematis. Oleh karena itu, kemampuan komunikasi matematis juga sangat penting untuk dikuasai oleh mahasiswa calon guru matematika. Tidak hanya guna mendukung kemampuan pemecahan masalah, tetapi juga untuk berbagai kepentingan yang lain, khususnya dalam persiapan mereka untuk menjadi fasilitator dan mediator bagi siswa yang belajar matematika, sedemikian hingga ia mampu memberi gambaran yang wajar tentang matematika kepada para siswa.

II. Penutup
Berpikir kritis sebagai aktivitas kognisi bagi siswa dalam pembelajaran diyakini dapat diberdayakan, sehingga akan menghasilkan output dan outcome pendidikan yang maksimal. Dalam pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa terbekali dengan habits of minds, sehingga akan tumbuh menjadi problem solver yang tangguh dengan pemahaman argumentatif, memiliki presisi analisis dan evaluasi yang baik dengan kompleksitas yang tinggi, objektif terhadap permasalahan yang ada dan teridentifikasi, dan lebih jauh siswa memiliki kemampuan elaborasi dan metakognisi (thinking about thinking).
Berdasarkan rasionalitas kemampuan berpikir kritis tersebut, seyogyanya guru memberdayakannya dalam pembelajaran dengan pembelajaran yang konstruktivistik, kontekstual, student centered, dan PAIKEM. Dalam pemberdayaan kemampuan berpikir kritis siswa, guru memiliki otoritas dan otonomi yang luas sesuai dengan ranah yang akan diberdayakan dan diukur. Guru dapat mengadopsi atau mengadaptasi deskriptor, prediktor, dan rubrik yang dikembangkan oleh para pengembang ranah kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, penting bagi seseorang calon guru matematik agar ia mempunya cukup ketrampilan yang akan digunakananya untuk membimbing siswa belajar matematika nantinya. Mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis dari beragam konteks ini menjadi lebih penting lagi bagi seorang calon guru matematika jika dikaitkan dengan perlunya siswa belajar matematika dalam konteks beragam, sebagaimana disarankan dalam pendekatan kontekstual.
Memperhatikan uraian tentang standar dan indikator kemampuan pemecahan masalah seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seseorang calon guru matematika dikatakan telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik jika ia telah mampu: (1) Memahami masalah; (2) Memilih strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah; (3) Menyelesaikan masalah dengan benar dan sistematis; dan (4) Memeriksa sendiri ketepatan strategi yang dipilihnya dan kebenaran penyelesaian masalah yang didapatkannya.

Teori Belajar Arthur William Brownell


BAB I
                                                              PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

              Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.
              Kegiatan pengelolaan informasi yang berlangsung di dalam kognisi itu akan menentukan perubahan perilaku seseorang. Bukan sebaliknya jumlah informasi atau stimulus yang mengubah perilaku. Demikian pula kinerja seseorang yang diperoleh dari hasil belajar tidak tergantung pada jenis dan cara pemberian stimulus, melainkan lebih ditentukan oleh sejauh mana seseorang mampu mengelola informasi sehingga dapat disimpan dan digunakan untuk merespon stimulus yang berada disekelilingnya. Oleh karena itu teori belajar kognitif menekankan pada cara-cara seseorang menggunakaan pikirannya untuk belajar, mengingat dan menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disimpan di dalam pikirannya secara efektif.
              Teori belajar kognitif menekankan pada kemampuan siswa dan menganggap bahwa siswa sebagai subjek didik. Jadi siswa harus aktif dalam proses belajar mengajar, fungsi guru adalah menyediakan tangga pemahaman yang puncaknya adalah tangga pemahaman yang paling tinggi, dan siswa harus mencari cara sendiri agar dapat menaiki tangga tersebut. Jadi peran guru adalah a) memperlancar proses pengkonstruksian pengetahuan dengan cara membuat informasi secara bermakna dan relevan dengan siswa, b) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan atau menerapkan gagasannya sendiri, dan c) membimbing siswa untuk menyadari dan secara sadar menggunakan strategi belajar sendiri.
Teori belajar yang berkembang dalam dunia matematika didasarkan pada temuan para ahli tentang pentingnya memahami tingkat berpikir kritis siswa. Pada dasarnya suatu materi pelajaran matematika ini dapat dimengerti dengan baik apabila siswa yang belajar sudah siap menerimanya. Psikologi belajar dan teori belajar pada umumnya berkaitan dengan bagaimana anak belajar. Sejak psikologi dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu, beberapa tokoh mengembangkan teori belajar masing-masing, baik yang menyangkut aspek tingkah laku maupun aspek kognitif.
            Banyak teori-teori belajar telah dikemukakan oleh para psikolog atau pakar pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pembelajaran yang inovatif.. Di antaranya aliran Psikologi Tingkah Laku dikemukakan antara lain oleh: Thorndike, Ausubel, Gagne, Pavlov dan teori tentang Psikologi Kognitif antara lain dikemukakan oleh Piaget, Brunner, Brownell, Dienes dan Van Hiele. Dengan munculnya terori pembelajaran dari para ahli psikologi, mempengaruhi pembelajaran matematika dalam negeri yang akhirnya pemerintah mengeluarkan kurikulum baru, yang disesuaikan dengan penemuan teori pembelajaran yang muncul.

1.2. Perumusan Masalah
Apa isi dari teorema Brownell dan bagaimana aplikasinyanya dalam pembelajaran.

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan dan Batasan
Dalam paper ini pembahasan hanya dibatasi pada teori Pembelajaran Brownell.

1.4. Tujuan Penulisan
       Untuk mengetahui isi dari teorema Brownell dan aplikasinya dalam pembelajaran.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Teori Belajar Brownell

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.” He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam pengertian.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna)  yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:
a.       Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b.      Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.
c.       Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada kesempatan lain.
d.      Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.

Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran matematika.
a.       Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai. Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.
b.     Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6,  9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
c.  Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini merupakan kriteria  penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak. Jelas dari sudut pandanga ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa dapat berfikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill (balapan).

          Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya, dan ini adalah isu  utama pada pembelajaran matematika. Teori makna mengakui perlunya drill dalam pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika memang diperlukan. Jadi, drill itu penting, tetapi drill dilakukan apabila suatu konsep, prinsip atau proses telah dipahami dengan mengerti oleh para siswa.
          Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya tes belajar untuk mengukur kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja. Tes harus mengungkapkan kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan kemampuan untuk menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek matematikanya maupun aspek praktisnya. Menurut teori ini, anak harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Anak harus tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang diucapkannya.
          Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan  utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.
Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian teori drill dalam pembelajaran matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.
Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Teori belajar William Brownell dikenal seebagai meaning theory.
Kelemahan perkembangan pembelajaran matematika dalam negeri  seolah nampak jelas, yakni pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas, kurang merangsang anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat dihadapkan pada kemajuan teknologi. Akhirnya Pemerintah merancang program pembelajaran yang dapat menutupi kelemanhan-kelemahan tersebut, munculah kurikulum 1975 dimana matematika saat itu mempnyai karakteristik sebagai berikut ;
1.    Memuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan, statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.
2.    Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan dan ketrampilan berhitung.
3.    Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinue
4.    Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur
5.    Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya heterogen.
6.    Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7.    Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8.    Metode pembelajaran menggunakan metode menemukan, memecahkan masalah dan teknik diskusi.
9.    Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.

Dalam teorinya Brownell mengakui akan pentingnya drill, tetapi harus dilakukan apabila konsep, prinsip, atau proses yang dipelajari telah lebih dahulu dipahami oleh siswa. Hal ini dikarenakan bahwa penguasaan seseorang terhadap matematika tidak cukup hanya dilihat dari kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja, tetapi juga dalam aspek praktis dan kemampuan berpikir kuantitatif. Selain itu juga Brownell memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa sebaiknya memahami pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun segi intelektual dalam sistem kualitatif. Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui makna dari apa yang dipelajari.
Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi, dll.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.       Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.        Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.       Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.        Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.

Pengaplikasian teori kognitif  Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.

Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran operasi hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika dengan bermakna saja yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud


Karso, dkk. 2000. Pendidikan Matematika I. Jakarta: Universitas terbuka